Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat daya beli buruh tani menurun pada Oktober 2018 diberitakan oleh CNNindonesia. Hal ini dikarenakan harga barang konsumsi naik atau inflasi.
Tercatat, inflasi di kawasan pedesaan sebesar 0,35 persen secara bulanan (month-to-month/mtm) pada Oktober 2018 atau lebih tinggi dari inflasi nasional sebesar 0,28 persen pada bulan yang sama.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan hal ini membuat indeks Nilai Tukar Petani (NTP) turun 0,14 persen dari 103,17 menjadi 103,02 bulan lalu. Karena tingkat harga yang dibayar petani untuk konsumsi dan produksi meningkat sekitar 0,34 persen. Sedangkan tingkat harga yang diterima petani hanya naik 0,2 persen.
“Inflasi disebabkan oleh kenaikan indeks pada seluruh kelompok penyusun indeks konsumsi rumah tangga petani. Salah satunya, inflasi di pedesaan disumbang oleh beras sekitar 0,05 persen. Itu seperti di kota, tapi angkanya lebih kecil,” tuturnya di Kantor BPS, Kamis (1/11).
Penurunan daya beli petani tertinggi dirasakan oleh petani tanaman perkebunan rakyat karena ada penurunan harga komoditas tembakau dan kakao. Tercatat, NTP sektor ini turun satu persen menjadi 96,25.
Lalu, penurunan daya beli juga dirasakan petani sektor peternakan sebesar minus 0,91 persen menjadi 105,57. Karena penurunan harga ternak besar, ternak kecil, unggas, dan hasil ternak, seperti sapi potong dan telur ayam ras.
Begitu pula dengan daya beli petani sektor perikanan minus 0,08 persen. “Hal ini karena penurunan harga di sektor perikanan tangkap, seperti ikan cakalang dan tongkol yang rata-rata turun 0,05 persen,” terang dia.
Meski begitu, daya beli petani di beberapa sektor rupanya masih meningkat, misalnya sektor tanaman pangan naik 0,82 persen, hortikultura 0,11 persen, dan budidaya 0,09 persen. Hal ini karena beberapa hasil produksi sektor-sektor tersebut masih meningkat harganya.
“Misalnya, harga komoditas gabah dan padi, masing-masing naik 1,11 persen dan 1,19 persen. Kemudian, harga sayur-sayuran naik 0,74 persen, buah-buahan 0,08 persen, dan tanaman obat 1,01 persen,” jelasnya.
Berdasarkan provinsi, peningkatan daya beli tertinggi terjadi di Kepulauan Bangka Belitung karena kenaikan harga komoditas lada atau merica mencapai 3,11 persen. Sementara, penurunann daya beli tertinggi terjadi di Riau karena harga komoditas kelapa sawit melorot hingga 6,91 persen.