Semua orang paham bahwa menjadi buruh di perkebunan sawit penuh tantangan bila dibandingkan dengan bekerja di sektor manufaktur atau retail. Namun perlakuan upahnya sama.
Malah, di banyak tempat, upah yang diterima buruh perkebunan sawit jauh di bawah UMP. Fakta itu ditemukan Koalisi Buruh Sawit (2018), bahwa terdapat selisih 20-30 persen antara upah yang diterima buruh perkebunan sawit dan UMP.
Ketua Korwil Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Provinsi Kalbar, Suherman meminta pemerintah terus melakukan sosialisasi terkait UKM yang sudah ditetapkan. Pasalnya ia mengaku hingga saat ini dari 7000 perusahaan yang ada di Kalbar banyak yang belum memenuhi hak-hak pekerja.
“UMK sudah ditetapkan oleh Gubernur, kita ikut mengawal dan kepada dinas terkait harus ada sosialisasi kepada perusahaan agar nanti per 1 Januari 2019 siap diterapkan. UMP kan tidak dipakai yang dibayarkan adalah UMK karena setiap kabupaten kota ada dewan pengupahan sehingga lebih tinggi dari UMP,” ujar Suherman pada Senin (26/12/2018).
Tugas dewan pengupahan dan serikat buruh kata Suherman memsosialisasikan SK gubernur yang sudah ditetapkan.
“Bagi perusahaan yang merasa keberatan hendaknya membuat penangguhan dengan syarat sesuai UU. Jika tidak ada surat penangguhan artinya perusahaan tersebut mampu membayar,” ujarnya.
Harapan Suherman semua perusahaan menerapkan aturan dan tidak melanggar ketetapan. Realita saat ini diakui Suherman masih banyak perusahaan di Kalbar yang melanggar aturan khususnya hak-hak normatif. Contoh upah, jaring pengaman sosial, lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah.
“Jika melakukan pelanggaran pemerintah harus tegas memberikan sanksi. Aturan, SK sudah ada jika melanggar harus ditindak. Kita mengimbau pemerintah untuk melakukan pengawasan langsung. Jangan menunggu laporan diatas meja, harus turun ke lapangan. Isu Ketenagakerjaan sudah berkaitan dengan hak normatif terutama buruh perkebunan sawit,” ujarnya.
Tak hanya mengenai upah murah, buruh perkebunan sawit dihadapkan dengan beban kerja yang berat. Saat maksimal jam kerja buruh hanya delapan jam per hari, mereka bekerja lebih dari 12 jam per hari. Output yang dihasilkan pun sangat tak manusiawi.
Misalnya, seorang buruh ditargetkan mengumpulkan 2-3 ton buah sawit setiap hari. Jika dikonversi dari luas area pekerjaan, setiap orang harus menjangkau luas lima kali lapangan sepak bola. Mereka juga harus mengangkat buah sawit ke tempat pengumpulan hasil, yang jaraknya mencapai 2-3 kilometer, dan berkewajiban merawat tanaman.
Semua itu dilakukan buruh dalam risiko kecelakaan kerja yang tinggi, terutama bagi buruh perempuan. Topografi perkebunan sawit sangat berat: dikelilingi hutan belantara, rawa, dan ancaman binatang buas. Meski demikian, banyak buruh yang tidak terjangkau oleh jaminan ketenagakerjaan dan jaminan kesehatan.