Upah guru di Indonesia yang tidak layak telah menjadi pemicu utama dalam meningkatnya jumlah pengguna pinjaman online. Berdasarkan laporan yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebanyak 42 persen guru di Tanah Air telah beralih menggunakan pinjaman online sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Data yang disajikan oleh OJK menunjukkan bahwa provinsi Jawa Barat merupakan wilayah dengan jumlah pengguna pinjaman online terbanyak, dengan total utang mencapai 16,55 triliun rupiah atau setara dengan 27,4% dari total utang pinjaman online secara nasional.
Menurut seorang guru honorer yang berdomisili di salah satu sekolah menengah di Kabupaten Bandung, masalah utama yang mendorong maraknya penggunaan pinjaman online di kalangan guru adalah karena upah guru yang tidak menentu dan terlambatnya pembayaran honor.
Hal ini membuat sebagian besar dari mereka terpaksa meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti membayar kontrakan.
“Gaji yang saya terima setiap bulannya hanya sebesar 300 ribu rupiah untuk sepuluh jam pengajaran selama sebulan. Bayangkan, dengan upah seperti itu, harus dipakai untuk makan sehari-hari dan ongkos bensin. Banyak guru honorer bahkan harus mengajar di dua sekolah, namun gaji yang diterima masih belum mencapai upah minimum Kabupaten Bandung,” ungkapnya.
Dalam kondisi seperti ini, penggunaan pinjaman online menjadi alternatif yang tidak bisa dihindari bagi banyak guru. Namun, masalah yang lebih mendasar adalah ketidakpastian ekonomi yang dialami oleh para pengajar, terutama mereka yang bekerja sebagai guru honorer.
Upah Guru Tak Seberapa, Gini Kata Pengamat!
Pengamat Kebijakan Pendidikan sekaligus Guru Besar dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof. Cecep Darmawan, mengatakan bahwa masalah utama yang menyebabkan banyak guru terjerat dalam pinjaman online adalah kurangnya dukungan serius dari pemerintah dalam memperbaiki sistem pendidikan.
“Kebijakan anggaran pendidikan yang belum sepenuhnya mendukung, baik dari APBD maupun APBN, telah memberikan dampak negatif terhadap pendidikan. Dana pendidikan yang hanya digunakan sebagian kecil untuk operasional dan investasi turut memperburuk kualitas pendidikan kita,” ujarnya.
Prof. Cecep juga menyoroti masalah penghargaan terhadap guru honorer yang masih minim. Janji untuk meningkatkan status guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) masih belum terlaksana dengan baik.
“Mereka butuh penghargaan yang lebih baik. Saya setuju bahwa proses pengangkatan PPPK atau ASN harus lebih mudah, dan kriteria penilaiannya dapat berdasarkan lamanya pengalaman mengajar. Misalnya, guru yang telah mengajar selama beberapa tahun dapat diangkat menjadi PPPK atau ASN,” paparnya soal upah guru.
Dari penjelasan yang disampaikan oleh para pihak terkait, dapat disimpulkan bahwa peningkatan upah yang layak bagi para guru menjadi kunci dalam menekan angka penggunaan pinjaman online di kalangan mereka. Pemerintah perlu mengambil langkah nyata dalam meningkatkan kesejahteraan guru agar dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih baik di masa depan.
Demikian informasi seputar upah guru di Indonesia. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Infoburuh.Com.