Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan bahwa untuk menekan drastis perokok di Indonesia adalah dengan menaikkan tarif cukainya. Pemerintah telah menetapkan tarif cukai hasil tembakau atau rokok 10% untuk tahun depan dan 2024. Selain itu pemerintah juga menetapkan tarif pajak untuk rokok elektrik 15% untuk lima tahun ke depan.
Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR menjelaskan, dengan kebijakan tersebut ada penurunan pada produksi rokok domestik 3,3% sampai November 2022. Hal ini disebabkan karena indeks kemahalan rokok naik 12,2%.
Menurut Mulyani, dengan naiknya indeks kemahalan rokok bakal menekan pembelian rokok. “Dari kenaikan cukai hasil tembakau, memang didesain untuk menciptakan harga per bungkus. Indeks kemahalan bisa dipertahankan atau sedikit meningkat,” kata dia di Komisi XI DPR pada Senin, 12 Desember.
Dalam paparannya, dia menjelaskan pada 2020 lalu produksi rokok turun hingga 9,7%. Namun pada 2021 kembali naik 4%. Dia mengungkapkan serapan produksi tembakau lokal juga mengalami kenaikan. Dalam lima tahun terakhir, produktivitas tembakau meningkat 239.207 hektare.
Selanjutnya dalam lima tahun terakhir, realisasi penerimaan tarif cukai tembakau juga terus mengalami kenaikan. Terakhir penerimaan cukai hasil tembakau tembus Rp 216 triliun naik dibandingkan periode 2021 sebesar Rp 188 triliun.
Kemudian pada 2021 dan 2022 tarif cukai didesain dengan level yang normal. Pemerintah berupaya untuk mempertimbangkan inflasi agar bisa menjaga konsumsi, penerimaan dan target APBN dari sisi tenaga kerja hingga petani. Saat ini alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) cukai hasil tembakau naik 3% pada 2023 menjadi Rp 6,5 triliun. Untuk alokasi dana digunakan untuk pembinaan industri tenaga kerja atau buruh pabrik.