Pemerintah Indonesia memiliki target ambisius untuk memproduksi minyak sebanyak 1 juta barel per hari pada tahun 2030. Namun, untuk mencapai target yang eambis ini, Indonesia masih menghadapi kendala serius, yaitu kekurangan alat bor (rig). Kondisi ini mengakibatkan potensi minyak dan gas (migas) di Indonesia belum tergarap secara optimal.
Kepala Divisi Pengeboran dan Sumuran SKK Migas, Suryo Widyantoro, mengungkapkan kendala ini dalam acara 4th International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas (ICIOG). Meskipun kebutuhan pengadaan alat bor hingga tahun 2030 telah dipetakan, ketersediaan rig saat ini masih belum mencukupi.
“Dari mulai 2023, kita memiliki 2.177 sumur, termasuk 92 sumur offshore dan 85 sumur di daerah rawa (swamp). Total rig yang dibutuhkan untuk mendukung semua ini adalah sebanyak 120 rig,” jelasnya.
Suryo menambahkan bahwa pada tahun 2024, diperkirakan akan dibutuhkan sekitar 107 rig. Namun, hingga saat ini, jumlah rig yang tersedia masih di bawah angka 100. Peningkatan permintaan rig ini penting untuk meningkatkan aktivitas di sektor migas guna mencapai target produksi minyak 1 juta barel per hari.
Direktur Utama PT Pertamina Drilling Services Indonesia (PDSI), Rio Dasmanto menekankan bahwa salah satu tantangan utama terjadi dalam penyediaan jack up rig, yang sebagian besar sudah terpakai. PDSI berencana menjalin mitra dengan provider rig besar untuk mendukung aktivitas di sektor offshore pada tahun mendatang.
Djoko Budiyanto, Head Department of PSC Procurement SKK Migas, menyoroti bahwa kemampuan suplai rig belum sejalan dengan kebutuhan. Jumlah rig jack up yang tersedia di Indonesia berkurang dari tahun ke tahun. Untuk mengatasi kendala ini, ada tiga solusi yang dapat dipertimbangkan, yaitu kontrak jangka panjang (long term contract), join procurement, dan farm in contract. Dalam hal ini, long term contract mungkin menjadi strategi terbaik meskipun pasar jack up rig cenderung tidak suka dengan kontrak jangka panjang.
Join procurement perlu dilakukan dengan baik sejak awal perencanaan untuk menghindari konflik di masa mendatang. Sedangkan farm in contract adalah solusi jangka pendek untuk program yang sulit mendapatkan rig. Pemerintah dan industri migas Indonesia perlu mencari solusi yang tepat untuk mengatasi kekurangan alat bor ini agar produksi migas dapat dioptimalkan dan target 1 juta barel per hari pada 2030 dapat tercapai.