Peran Irnawati Sutanto Mirza dalam Kasus Vaksin Palsu

Irnawati, Sutanto, dan Mirza merupakan tiga dari belasan terdakawa vaksin palsu. Semua terdakwa baik Irnawati Sutanto dan Mirza telah menjalani vonis di pengadilan negeri Bekasi. Irnawati merupakan perawat di sebuah Rumah Sakit Harapan yang beralaman di Kramat Jati Jakarta Timur. Dalam kasus ini, Irnawati berperan sebagai prang yang memesan vaksin palsu pada distributor tidak resmi.

Dari pengakuannya di pengadilan negeri, Irnawati menyebutkan bahwa dirinya membeli vaksi palsu atas perintah dr Lenny Syukriati. Hal ini karena stok vaksin yang berada di rumah sakit telah habis.

Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Bekasi, Irnawati mengaku diminta untuk memesan vaksin Pediacel. Atas perintah dr Lenny tersebut akhirnya dirinya memesan vaksin Pediacel ke CV Azka Medika. Sebagai perawat di rumah sakit, Irnawati mengaku bertugas sebagai penamping dokter. Ia menambahkan bahwa meski stok di rumah sakit sedang kosong, dr Lenny kerap menawarkan vaksin kepada orang tua pasien. Hal ini agar balitanya segera diimunisasi pertusis, difteri, dan tetanus.

vaksin palsu

Vaksin Pediacel yang dibeli Irnawati dipesan di distributor tidak resi, yakni pada marketing CV Azka Medika bernama Syahrul. Dalam kasus vaksin palsu, Irnawati dinyatakan bersalah di Pengadilan Tinggi Negeri dan ditutut 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar karena terbukti ikut mengedarkan dan menjual vaksin palsu.

Peran Sutanto dan Mirza dalam Kasus Vaksin Palsu

Selain Irnawati, Sutanto juga merupakan terdakwa kasus vaksin palsu yang telah menjalani sidang di Pengadilan Negeri Bekasi. Sutanto merupakan pemilik percetakan yang mendapatkan order pembuatan label vaksin palsu. Sutanto divonis 5 tahun penjara dengan jeratan pasal 196 UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.

Sidang tersebut sempat ditunda selama enak kali karena Jaksa Penuntut Umum perlu menyempurnakan peran terdakwa dalam pembuatan vaksin palsu.

Selain Irnawati dan Sutanto, salah satu terdakwa vaksin palsu lainnya adalah Mirza. Terdakwa kasus vaksin palsu ini merupakan pemilik apotek yang mengedarkan vaksin palsu. Mirza divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 2 bulan atas pelanggaran UU Kesehatan dan UU Perlindungan Konsumen.

Majelis Hakim menyatakan terdakwa telah merugikan banyak orang dari vaksin palsu. Terlebih lagi terdakwa Mirza memiliki latar belakang farmasi yang seharusnya mengetahui mengenai standar prosedur penjualan vaksin.

Terdakwa Vaksin Palsu Lainnya

Diberitakan sebelumnya pasangan suami istri Hidayat Taufiqurrahman dan Rita Agustina merupakan terdakwa dalam kasus vaksin palsu yang berberan dalam pembuatan vaksin alsu berjjenis Pediacel, Tripacel, Tuberculin, Harvix B dan Engerix B. Kedua terdakwa tersebut telah menjalani bisnis vaksun palsu sejak tahun 2010.

Kedua tersangka membuat vaksin tanpa standar bakut mutu yang sesai dengan Cara Pembuatan Obat yang Benar (CPOB). Produksi vaksi palsu tersebut dilakukan di sebuah rumah mewah di Perumahan Kemang Pratama Refency, Rawulumbu, Kota Bekasi.

Meski para terdakwa tidak terdaftar sebagai Pedagang Farmasi Besar (PBF), pasangan suami istri ini mengedarkan vaksin palsu ke wilayah di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang. Modus yang dilakukan oleh terdakwa adalah dengan menjual vaksin palsu tersebut kepada perorangan hingga ke toko obat atau apotik.

Atas dasar tersebut JPU menjerat kedua tersangka dengan pasal 197 UU Kesehatan RI Nomor 36 Tahun 2009 jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP dengan tuntutan 12 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan penjara.

Sebelum dilakukan tuntutan, sidang telah menghadirkan para saksi dan beberapa instansi terkait seperti penyidik, Kementerian Kesehatan RI, BPOM, PT Aventis, PT GSK, dan para terdakwa lainnya.

Sementara untuk tedakawa lainnya, Suparji yang merupakan pemilik Apotik di daerah Kramat Jati, Jakarta Timur, dijerat dengan Pasal 196 UU Kesehatan RI Nomor 36 tahun 2009 dengan hukuman 10 tahun penjara dan subsider 6 bulan penjara. Kemudian untuk bidan Nilna Farida bidan yang bekerja di daerah Jatiasih, Kota Bekasi dijerat dengan pasal 196 UU Kesehatan RI Nomor 36 Tahun 2009 dengan hukuman 10 tahun penjara.