Survei Pengangguran di Indonesia: Pendidikan Rendah dan Kelompok Usia 15-24 Tahun

Pengangguran di Indonesia terus menjadi perhatian penting bagi pemerintah dan masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada Agustus 2022, jumlah pengangguran kini telah mencapai 8,42 juta orang. Provinsi Jawa Barat menjadi provinsi paling banyak penyumbang pengangguran, diikuti oleh Kepulauan Riau, Banten, DKI Jakarta, dan Maluku.

Meskipun demikian, BPS melaporkan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia pada Agustus 2022 turun dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Tingkat pengangguran terbuka mencapai 5,86 persen dengan rincian bahwa 5,93 persen pengangguran adalah laki-laki dan 5,75 persen adalah wanita.

Berdasarkan kelompok usia, orang berusia 15-24 tahun memiliki tingkat pengangguran tertinggi sebesar 20,63 persen, sedangkan orang berusia 25-29 tahun hanya mencapai 3,36 persen. Selain itu, BPS juga mencatat bahwa pengangguran masih banyak terdapat di wilayah perkotaan, yakni 7,74 persen, dibandingkan dengan pedesaan yang hanya mencapai 3,43 persen.

Menciptakan Pasar Tenaga Kerja yang Inklusif: Kunci Mengatasi Pengangguran di Indonesia

Menurut Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, tantangan utama dalam mengatasi pengangguran adalah pendidikan dan kompetensi yang rendah. Sebanyak 2,8 juta dari 8,42 juta pengangguran di Indonesia menganggap mencari pekerjaan tidak mungkin, dengan 76,9 persen dari mereka berpendidikan rendah atau hanya lulus SMP ke bawah.

Namun, Ida Fauziyah menambahkan bahwa tantangan lainnya adalah meningkatkan penciptaan lapangan kerja, terutama di sektor formal, serta mengadaptasi nilai budaya kerja baru, seperti work-life-balance, pekerjaan yang bermakna, dan worktainment. Risiko mismatched atau ketidaksesuaian antara supply and demand juga harus diatasi, terutama akibat adanya digitalisasi, yang dapat memicu perubahan permintaan keterampilan kerja, pola hubungan kerja, dan waktu serta tempat kerja yang semakin fleksibel.

Untuk mengatasi pengangguran di Indonesia di pasar kerja, Ida Fauziyah menekankan pentingnya menciptakan pasar tenaga kerja yang inklusif. Hal ini dapat dicapai melalui peningkatan pendidikan dan kompetensi, penciptaan lapangan kerja, dan adaptasi nilai budaya kerja baru yang relevan dengan generasi muda dan perubahan digital.